Orang Kampung dan Paska Persamuhan

“Kota adalah bentuk perkembangan kampung itu sendiri, harusnya bukanlah dua entitas yang berbeda” Aku termenung dengan ucapan seorang temanku saat aku bercerita tentang pengalamanku menghadiri Persamuhan Pembakti Kampung yang diselenggarakan oleh BPIP akhir Oktober lalu di Anyer. Ya, caranya berfikir memang agak berbeda. Menurutnya lagi, orang-orang yang sadar dan mengabdi di kampung sesungguhnya adalah orang-orang yang sudah merasa cukup dengan kota, orang-orang yang paham dan mengerti potensi akan kampungnya.

Dengan mencontohkan karakteristik warga Jepang dan menceritakan pengalaman adiknya selama tinggal di negeri sakura, aku disuruh membayangkan tentang masyarakatnya yang sopan dan ramah, serta memiliki rasa tolong menolong yang cukup tinggi. “Karakter orang kampung bukan itu Thri?” tanyanya, yang sambil berfikir ku jawab iya. Jepang adalah contoh negara yang berhasil memiliki kota-kota yang cukup maju dan punya karakter masyarakat seperti itu karena kampung-kampungnya yang berkembang menjadi kota sedangkan karakter masyarakatnya ya memang begitu sambungnya lagi, karakter orang kampung.

Di perjalanan pulang aku berfikir sambil menelaah percakapan dengan temanku tadi. Dia memang salah satu teman diskusi yang selalu berhasil membuatku berfikir agak lama untuk mencerna beberapa pembahasan. Ingatankupun kembali ke Anyer, saat persamuhan pembakti kampung seluruh nusantara berkumpul dan saling berbagi baik cerita ataupun ilmu sembari duduk mengopi disela-sela jadwal acara yang disiapkan.

Anyer dan para pembakti kampung senusantara yang bertukar sapa

Teman sekamarku adalah Mbak Farida salah seorang penggiat komunitas Ibu Berdaya dari Jawa Timur. “Komunitas kami bergerak dibidang pemberdayaan perempuan khususnya ibu sebagai kepala rumah tangga” ucapnya. “Berfokus kepada para janda salah satunya agar dapat mandiri secara finansial” terangnya lagi. Aku mengernyit sebentar sebelum akhirnya memahami arah pembicaraan kami sebelum tidur waktu itu.

Para pembakti kampung yang hadir di Anyer akhir bulan Oktober itu ternyata berasal dari berbagai latar belakang, pemberdayaan perempuan, literasi, lingkungan, wisata, hingga pelestarian budaya dan tradisi. Suasana persamuhan itu tidak hanya hidup saat acara-acara yang dijadwalkan berlangsung, tetapi juga saat orang-orang kampung itu saling bertukar sapa sambil mengopi atau merokok disela-sela waktu istirahat. Bahkan menurutku, persamuhan itu terjadi lebih hangat dalam obrolan di kelompok-kelompok kecil di luar ruangan.

Acara yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ini bertajuk “Persamuhan Nasional 2019 Bakti Bangsa” dan dihadiri oleh penggiat kampung dari Sabang sampai Merauke. Sosok Irene Camelyn Sinaga selaku Direktur Pembudayaan BPIP yang lebih memilih untuk dipanggil mbak daripada ibu terlihat hilir mudik mengurusi acara yang katanya sudah tertunda sejak bulan Mei lalu. Betapa tidak, acara ini meskipun sederhana tetapi menyambut kurang lebih 500 peserta dari berbagai daerah dan latar belakang.

Ratusan pasang mata milik peserta dari seluruh nusantara berpusat ke sosok perempuan yang tengah memberi kata sambutan pagi hari itu. Kata sambutan tentang betapa senangnya beliau atas kehadiran para pembakti hingga pentingnya penerapan nilai-nilai Pancasila dan pelestarian kebudayaan menjadi pesan yang ingin disampaikan melalui kegiatan ini.

Festival rakyat, media penyelamatan kebudayaan dalam bentuk perayaan

Sebelumnya, tak pernah terfikir olehku bahwa festival bisa berperan lebih dari sekedar perayaan dan pertunjukan. Setidaknya begitulah setelah sesi diskusi yang dipimpin oleh pak Taufik Rahzen di kelompok bahasa waktu itu. Aku yang sudah lama berhenti terlibat dalam penyelenggaraan event ataupun festival seakan diingatkan kembali akan ‘semangat’nya.

Satu festival yang melekat di ingatanku adalah Festival Payung Indonesia, meski belum pernah ku hadiri, tetapi festival ini jadi bukti penyelemat kebudayaan yang tadi sempat kusebutkan. Berawal dari keinginan untuk melestarikan para pengrajin payung di Indonesia, festival ini kemudian diselenggarakan dengan menggandeng para pengrajin payung lokal yang masih berproduksi. Ajang ini bahkan telah diselenggarakan sejak 2014 dengan tema yang berbeda setiap tahunnya.

Dari diskusi dan pemaparan oleh para peserta dan pemateri tentang perayaan rakyat dengan beragam tema dan kegiatan, membuktikan bahwa festival bukan hanya sebuah perayaan saja. Ada nilai-nilai tradisi yang ingin dilestarikan, semangat para penggiat untuk terus mempertahankan dan mensosialisasikan nilai tersebut ke masyarakat dan anak-anak muda, hingga perputaran uang yang dapat menghidupkan sektor-sektor ekonomi kreatif yang terlibat didalamnya.

Bahkan acara persamuhan ini tak dapat dilepaskan dari semangat perayaan dan selebrasi atas keragaman budaya Indonesia yang ikut hadir bersama para pembakti dari seluruh nusantara. Hari itu, tepat 28 Oktober 2019 terlihat jelas bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya slogan yang menggantung di pita dalam cengkraman sang garuda tetapi juga hadir dalam sikap dan perilaku para pembakti kampung dari seluruh Indonesia.

Para Pembakti Paska Persamuhan

Meminjam dan memodifikasi istilah mas Butet Kertaradjasa tentang seniman paska terampil, maka aku memilih kalimat para pembakti paska persamuhan. Terlepas dari serunya kegiatan, diskusi, serta cengkerama selama acara persamuhan nasional tentunya adahal yang lebih penting dari sekedar lempar candaan di grup besar aplikasi whatsapp. Ini tentunya terkait pernyataan tentang kota dan kampung di awal tadi. Tetapi yang namanya penggiat, tetaplah penggiat, setelah persamuhan ternyata ada banyak jejaring yang terbentuk serta kegiatan-kegiatan yang siap disinergikan.

Apa yang diperbincangkan di grup paska persamuhan ini yang kemudian menjadi asal muasal percakapanku dengan temanku itu. Aku mengagumi para penggiat kampung dengan program-program yang mereka miliki, bahkan beberapanya tak seperti pada umumnya orang kampung dalam sudut pandang lamaku yang sempit. Yang menurut temanku tadi, justru orang kampung dengan kampungnya memiliki potensi luar biasa. Bahkan sebuah kota yang dibangun dari berkembangnya kampung itu sendiri dapat memiliki akar karakteristik masyarakat dan budaya yang kuat sehingga mampu menopang kejayaan sebuah negara.

Yah, baik sebutan orang kampung ataupun orang kota memang harusnya hanya memberikan deskripsi tempat tinggal seseorang, tak lebih. Acara persamuhan kemarin justru membuatku melihat bahwa orang kampung memiliki banyak potensi yang tak dimiliki orang kota, bahkan dengan keterbatasan yang mereka miliki. Ada geliat tak henti untuk memberdayakan kampung tempat mereka tinggal dimana nilai-nilai kebudayaan dan sosial itu tetap hidup, sejalan dengan ideologi Pancasila.

Persamuan Pembakti Kampung – Anyer 2019

53 Comments

      • Asyik. Semakin banyak perspektif untuk melihat dan menyikapi persamuhan ini. Tapi semua punya spirit yang sama. Semua mendapat energi positif yang sama. Semoga bisa ketemu di persamuhan berikutnya.

        Salam dari bumi Borneo.

  1. Waktu dengar temen-temen pembakti cerita, soal kampungnya, soal cara mereka bikin keren kampungnya, aku langsung optimistis sama Indonesia.

    Masih banyak yang sayang sama negeri ini. 😀

  2. Sudah lama rasanya gak hadir di acara beginian. Terakhir itu waktu di NTT beberapa tahun yang lalu. Salah satu alat musik yang ada di video diatas mirip sekali dengan alat musik yang ada di NTT, yang dinamai dengan Likurai. Ah.. jadi teringat NTT gue.

  3. Ya ampun keren banget ini. Dulu waktu masih sering ikut orang tua jalan2 ke kampung kampung sering lihat acara tradisional2. Khasss banget. Semoga makin banyak acara2 festival kerakyatan seperti ini ya. Jadi semakin lihat betapa kayanya Indonesia dari segi seni dan budaya.

  4. Aku juga selalu berpendapat bahwa kampung itu sebaik-baiknya tempat tinggal dan belajar. Seneng deh baca ulasannya, semoga silaturahmi nya semakin terjalin erat.

  5. “orang-orang yang sadar dan mengabdi di kampung sesungguhnya adalah orang-orang yang sudah merasa cukup dengan kota, orang-orang yang paham dan mengerti potensi akan kampungnya”

    SETUJU!

    Orang kampung bukan berarti kampungan, orang kota bukan berarti gak kampungan. Biar kata kota dan kampung cukup jadi penanda lokasi, bukan jd stereotype.

    • Iya mut, daku setuju, karena ada banyak orang-orang yang masih mau kembali ke kampung mereka untuk mengabdi dan mengembangkannya.

  6. Nice artikel kak. Aku setuju, seharusnya kampung dan kota hanya sebatas perbedaan tempat tinggal, ya. Bukan sebagai pembentuk karakter. Bahagia rasanya mengetahui bahwa masih banyak orang yang peduli dengan negeri ini. Semoga kampung-kampung di Indonesia bisa berkembang menjadi daerah yang maju.

  7. Seru acaranya ^^ Bener mbak, Festival budaya itu salah satu cara terjitu untuk merawat dan mempublikasikan kebudayaan yang ada. Soalnya kalau pas ada festival kan biasanya yang nonton lebih banyak

  8. Sepertinya acara di Anyer yang kakak ikuti sangat keren yaa. Apalagi saat bertemu orang-orang luar biasa. Entah kenapa setuju bahwa orang kampung memiliki bnayak potensi. Makasih sharing bermanfaat nya, kak.

  9. Kesempatan yang luar biasa bisa ikut acara semacam ini, Kak. Selain ketemu teman-teman dari berbagai daerah, dapat pengetahuan budaya baru yang rasanya nggak akan habis-habisnya buat kita pelajari. Terima kasih sudah berbagi pengalamannya, Kak. 🙂

  10. Kalo kak athri yaa.. Ga heran nulis hal deep gini. Seru banget ya Indonesia kaya banget. Cuma kadang kita suka ga aware sama hal ginian.. Jadi ga keren gitu dikebanyakan kita. Ttp semangat nulis hal kayak gini ya kak

  11. Mendengar kata ‘Festival Rakyat”, aku jadi teringat acara festival rakyat yang diadakan di Batam beberapa bulan kemaren. Ada mistis-mistis nya gitu diacara itu. Seperti yang telah ku ceritakan di postingan blog ku sebelumnya, ternyata acara Antu Bubu itu juga ada di Batam, gak hanya di Belitung, namanya aja yang beda. Tapi permainannya mirip-mirip.

  12. Aku jadi inget orang-orang di kampungku yang rasa gotong royongnya tinggi. Memang kelihatan ya orang kampung itu seringkali lebih kompak. Makanya wajar kl mereka juga kompak membangun wilayahnya ?

  13. Acara seperti ini mengingatkan kita akan nilai-nilai dan budaya Indonesia yang seharusnya dari kampung menjadi akar dan tak terlepas di manapun kita berada, termasuk saat menjamah kota.

    Saya lihat ada mba Kartika di foto, seru juga ya bisa kumpul dengan teman-teman dari seluruh nusantara lainnya.

  14. Sekarang mulai banyak desa-desa yang hidup dan potensial karena peran orang-orang yang berkontribusi di dalamnya, bukan hal yang mudah dan prosesnya lama tentu saja apalagi kalau ketemu dengan kebiasaan yang sudah mengakar. Kalau perbedaan desa dan kota hanya sekadar tempat mungkin belum ya di Indonesia, namun di masa depan bisa jadi bukan hal yang mustahil seperti di Jepang. Karena gap itu masih ada, selain itu ada faktor budaya juga yang membedakannya,

  15. wuah aku jadi pengen datang ke Anyer
    baru kali ini aku tahu budaya tari-tariannya Anyer
    menarik juga ya, soalnya baju perempuannya full muslimah kayak Aceh gitu looh
    terus ada yang bocah-bocah nari pakaiannya telanjang dada
    aku tuh penasaran, mereka menarikan apa, menceritakan apa, sejarah budayanya seperti apa, dll
    ah banyak deh yang pengen aku tahu

  16. Salut banget sama adat Indonesia. Ini bener-bener budaya yang harus dilestarikan, Persamuhan.
    Semoga anak muda sekarang masih ada yang mau mempelajari adat istiadat daerahnya masing-masing.

  17. Aku baru tahu istilah persamuhan mbak. Dan menarik sekali ketika orang kampung sudah tahu potensi kampungnya sendiri. Karena dari sepengalamanku yang tinggal di desa, mereka justru nyaman di kota daripada di desa sekalipun tahu jika desanya memiliki potensi lebih

Leave a Reply to Reh AtemalemCancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *