Lestari Hutan Lestari Peradaban

Pernahkah tuan bertamu ke tanah Riau? Di tanah kami, mengalir empat sungai besar dimana masing-masing kerajaan dan peradaban Melayu Riau berdiri ditepiannya. Siak, Kampar, Batang Kuantan dan Rokan. Di sisi-sisi sungai besar itu, dahulunya berdiri Ghimbo/Rimbo/Rimba dengan kayu-kayu yang tegak menjulang dengan berbagai buah dan hewan yang dapat diburu.

Masyarakat Melayu rata-rata menetap tak jauh dari sungai dan hutan, sehingga ada banyak tradisi masyarakat yang berkembang atas dampak keterlibatan mereka dengan alam itu sendiri. Contohnya, untuk menangkap ikan butuh bubu yang dibuat dari sebilah bambu, untuk menyeberang sungai butuh sampan yang dibuat dari sebatang pohon, dan untuk menyimpan barang bawaan butuh tempat penampung yang dibuat dari kulit kayu atau kulit hewan.

Tradisi Masyarakat yang dekat dengan alam

Saat ini, ada beberapa tradisi yang keberadaannya bahkan tak lepas dari keberadaan hutan. Salah satunya adalah festival pacu jalur di sungai Batang Kuantan/ Indragiri. Festival yang sudah dirayakan sejak tahun 1903 ini kabarnya diadakan untuk merayakan ulang tahun Ratu Wihelmina, penguasa Belanda saat itu. Namun kini, festival ini diadakan untuk merayakan hari jadi Indonesia dan digelar pada akhir bulan Agustus setiap tahunnya. Bukan tentang asal muasal festival ini diadakan yang menarik buatku, melainkan prosesinya. Festival Pacu Jalur adalah festival yang tak hanya melibatkan para pendayung, melainkan masyarakat sekampung.

Jalur atau sampan yang digunakan untuk acara ini menggunakan satu batang pohon. Ya, satu batang pohon yang memiliki panjang sekitar 25 – 30 meter yang dapat menampung 40-60 orang anak pacu. Kegiatan ini tentunya melibatkan rangkaian upacara adat untuk memastikan proses pemilihan batang pohon, penebangan hingga pembuatan jalur selesai dengan baik.

Melihat kondisi hutan masa kini, jika tidak dilestarikan dengan baik, kita tidak akan tahu akan berapa lama lagi tradisi pacu jalur akan bertahan. Tidak hanya pacu jalur, ada banyak sekali tradisi masyarakat nusantara akan tergerus bersamaan dengan keberadaan hutan nantinya.

Baca tulisanku tentang : Green Canyon dari Kampar Hulu

Konon katanya Zamrud Khatulistiwa

Tanah Riau memiliki hutan yang sewaktu aku masih sekolah dasar selalu disebut-sebut sebagai Zamrud Khatulistiwa bersanding dengan rimba rumah para orang utan di Borneo sana. Kembang rasanya hidungku mendengar kata Zamrud Khatulistiwa terucap dari mulut guru IPS saat itu, padahal aku hanya anak perempuan yang lahir di kota Pekanbaru, jauh dari hutan berdiri.

Narasi-narasi atas hasil hutan yang berlimpah membuat anak perempuan yang tinggal di kota yang saat itu belum sebesar sekarang melambung berbangga hati. “Walaupun aku tidak tinggal di Jakarta yang tersohor itu, aku bisa berbangga atas status Zamrud Khatulistiwa ini” Begitu fikirku dulu.

Namun rasa bangga itu pupus saat bencana kabut asap cukup parah melanda pertama kali di tahun 1997. Kali pertama jua aku tersadar atas hutan yang yang selalu digadang-gadangkan sebagai paru-paru dunia itu terbakar, ditambah Riau yang hutannya berpijak atas tanah gambut menjadi sangat kering di kala fenomena El Nino melanda waktu itu.

Bencana kabut asap kemudian sering kali kurasakan pasca 1997, hingga puncaknya, kabut asap yang buatku terasa sama buruknya kembali di tahun 2015 silam. Sehingga membuatku yang tak pernah ikut demo atas alasan apapun, ikut turun bersama dengan warga kota lainnya. Menyuarakan harapan agar tidak lagi merasakan bencana yang sama tiap tahunnya, menyuarakan suara yang tak teredam sekalipun hidung dan bibir kami terbungkus masker kala itu.

Hutan Tropis di Indonesia
Data Deforestasi Indonesia 2016-2017

Beriringan dengan berbagai kasus perusakan alam yang terjadi di negeri ini, lahir berbagai gerakan masyarakat yang mengupayakan sosialisasi-sosialisasi serta program-program yang bertujuan untuk menyelamatkan hutan dan lingkungan.

Organisasi-organisasi yang disokong oleh dunia internasional hingga berkekuatan lokal bertumbuh dengan visi yang sama, memberikan kesadaran atas pentingnya menjaga lingkungan tempat kita tinggal.

Yayasan Doktor Sjahrir

Adalah almarhum Dr Sjahrir salah seorang aktivis, ekonom serta politisi Indonesia yang meninggal pada Juli 2008 lalu di Singapura. Sampai akhir hanyatnya beliau menjabat sebagai Dewan Pertimbagan Presiden membawahi bidang ekonomi. Yayasan Doktor Sjahrir sendiri dibentuk untuk meneruskan misi sosial beliau. Lembaga ini kemudian bergerak lintas sektor, termasuk bidang pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.

Dibidang lingkungan sendiri, Yayasan Doktor Sjahrir bekerjasama dengan Climate Reality Project Indonesia sebuah organisasi non-profit yang bermula di Nashvile, Tenesse. Bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas krisis iklim yang dimulai dari komunitas-komunitas akar rumput di Amerika hingga dunia.

Pertemuan pertamaku dengan yayasan ini dimulai saat rangkaian acara 10 years Climate Reality Project bertajuk “Forest Talk with Bloggers” singgah di kotaku Pekanbaru. Bertemakan ‘Menuju Pengelolaan Hutan Lestari’ acara yang berlangsung pada 20 Juli 2019 lalu mengajak serta para blogger dan media yang ada di kota ini.

Forest Talk With Bloggers Pekanbaru

Begitu menginjakkan kaki di Ballroom hotel Grand Zuri Pekanbaru saat itu, kami disambut dengan dua stand di sisi kiri dan kanan ruangan. Sebagai orang yang memang senang mengudap, langkahku dengan cepat menuju ke sisi kiri dimana berjejer cukup banyak keripik-keripik dan cemilan tertata diatas meja. Rupanya stand yang aku singgahi adalah stand dari Desa Makmur Peduli Api, sebuah csr program dari Sinarmas Group untuk pembinaan masyarakat lokal disekitar lokasi konsesi.

Kusempatkan mengobrol dengan ibu (lupa namanya akutu) yang menjaga stand tersebut. Beliau menyebutkan bahwa keripik-keripik serta madu yang mereka bawa hari ini adalah hasil usaha dari warga Desa Makmur Peduli Api (DMPA) yang mereka bina. Tadinya ku kira DMPA adalah nama sebuah desa, tapi ternyata aku salah. DMPA merupakan nama program csr yang tadi kusebutkan, didalamnya terhimpun sekitar 236 desa yang ada di provinsi Riau.

“Saat ini cemilan dan keripik ini sudah diperjual belikan, karena ini salah satu program pembinaan masyarakat yang kami berikan. Untuk madu dan beberapa cemilan sudah bisa dijumpai di salah satu swalayan buah di Pekanbaru, saat ini tim mereka sedang berusaha mengurus proses penjualan di swalayan dan supermarket lainnya di Pekanbaru” Ujarnya saat aku bertanya dimana bisa mendapatkan produk-produk tersebut.

Setelah bertukar cerita dengan ibu dari Sinarmas tersebut aku dan teman-teman peserta lainnya ternyata diberi bingkisan berisi keripik yang mereka bawa, waah senangnya. Langkahku kemudian menuju ke stand yang terletak di seberang stand ini.

Diatas meja nampak tertata beberapa kain tenun dari Timur Indonesia, aku mengenali ciri khas dan coraknya. Warna-warninya juga manis sekali. Aku kemudian bertukar sapa dengan dua orang muda mudi yang terlihat tengah merapikan sembari mengobrol di stand tersebut. Mbak Gina dan mas Hendik rupanya panitia dari Yayasan Doktor Sjahrir yang menyelenggarakan kegiatan hari itu.

Obrolan ku dengan kedua muda mudi itu dibuka dengan corak dan warna kain tenun ikat yang memikat di atas meja. Aku cukup familiar dengan metode menenun yang memang digunakan oleh wanita Indonesia dari Sabang hingga Merauke untuk membuat kain yang mereka kenakan. Di Riau sendiri kain tenun ini dikenal dengan songket, berhias benang emas yang sering digunakan untuk helat acara tertentu. Tapi aku asing dengan metode pewarnaan atas benang yang digunakan untuk menenun kain-kain tersebut.

Warna-warni kain di tenun ikat yang sedang dipamerkan jarang sekali kujumpai. Menurut mbak Gina dan mas Hendik, kain-kain tenun itu adalah koleksi pribadi dari Yayasan Doktor Sjahrir. Dan menariknya, warna-warni di kain tersebut ternyata didapat dari pewarna alami. Aku terkagum-kagum melihat kain yang berwarna cantik ditanganku ini ternyata dibuat dari tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia.

Dari hasil obrolan dengan mbak Gina, untuk kain dengan warna biru didapat dari tanaman Indigofera yang juga dikenal dengan tumbuhan Nila. Untuk kain dengan warna cokelat didapat dari kulit kayu secang; kalau secang aku cukup tahu sih, biasanya dicampuran rempah-rempah rendaman untuk obat panas dalam, atau pewarna merah di minuman khas Betawi bernama Bir Pletok. Sedangkan untuk mendapatkan warna merah, diramu dari akar mengkudu. Wah, akupun kemudian mengambil kesempatan untuk berfoto dengan tenun ikat khas Indonesia Timur itu. Ternyata konsep green life style yang saat ini tengah digadang-gadangkan di perkotaan dan dunia luar sudah lebih dahulu dimulai oleh masyarakat asli Indonesia. Contoh dekatnya ya tenun-tenun ikat yang ku temui di acara “Forest Talk With Bloggers Pekanbaru” Akhir Juli kemarin.

Mencoba tenun ikat yang ada di Stand Forest Talk

“Intinya itu, bumi sekarang memang sedang sekarat. Tapi bagaimana caranya kita sebagai individu, sebagai pemerintah, dan sebagai kelompok masyarakat dapat berbuat untuk menyikapi ini”

Amanda Katili Niode

Ibu Amanda Katili Niode selaku Manager Climate Reality Indonesia membuka Forest Talk pagi itu dengan paparan-paparan krisis iklim yang sedang kita hadapi. Tersadarkan bahwa, dengan adanya perubahan iklim yang menghadapi dampak buruknya itu tidak hanya masyarakat adat dengan lingkungan dan hutan-hutan tempatan mereka. Tetapi bisa juga dirasakan oleh kita semua. Bisa dikatakan umat manusialah yang akan menghadapi bencana kedepannya jika hal-hal pemicu pemanasan global tidak segera diatasi.

Pemanasan Global karena kegiatan manusia

Jengah rasanya mengetahui bahwa sebagian besar krisis iklim yang sedang kita alami sekarang disebabkan oleh manusia itu sendiri. Tingginya eksploitasi hutan dan lahan itu tidak hanya memberikan konflik antar masyarakat tempatan dengan para pengusaha atau pemerintah, tetapi juga berdampak atas kelestarian ekosistem itu sendiri.

Produksi gas emisi gas rumah kaca di Indonesia

Dr. Atiek Widayati selaku perwakilan dari Tropenbos Indonesia, sebuah organisasi yang berkantor pusat di Belanda melanjutkan pembahasan di pagi itu. Di awal obrolan, beliau memaparkan kasus-kasus yang begitu familiar bagi kami. Mulai dari bencana asap yang cukup parah di tahun 2015, hingga yang terbaru yaitu berita tentang masuknya harimau sumatera ke kawasan pemukiman warga. Semua permasalahan yang beliau paparkan berawal dari deforestasi serta eksploitasi lahan.

Data Deforestasi di Indonesia

Melihat diagram tren deforestasi di Indonesia yang mengalami penurunan, kemungkinannya ada dua sih menurutku. Bisa jadi usaha organisasi-organisasi pejuang kelestarian hutan berhasil mendesak pemerintah untuk mengurangi pembukaan lahan baru oleh perusahaan-perusahaan dan, hutan yang hendak di deforestasi atau dikonversi memang sudah semakin sedikit wilayahnya.

Sebagai masyarakat yang tinggal di perkotaan, walaupun memiliki kepedulian atas kasus-kasus deforestasi hutan, aku tetap belum dapat benar-benar membayangkan apa sebenarnya yang bisa terjadi jika hutan benar-benar habis. Hingga pemaparan yang disampaikan hari itu di acara “Forest Talk with Bloggers Pekanbaru” seakan membawa kenyataan dan kemungkinan-kemungkinan hadir didepan mataku.

“Efek rumah kaca yang sedang kita alami karena menumpuknya gas karbon di atmosfir adalah dampak dari berkurangnya pohon-pohon besar atau hutan. Karena semakin besar sebuah pohon, maka semakin besar pula kemampuannya menyerap karbon dari CO2 di udara”

Dr Atiek Widayati
Hubungan kehilangan hutan dan emisi CO2

Kunjungan Peserta Forest Talk ke Desa Makmur Peduli Api, Batu Gajah, Kampar – Riau

Jadwal selanjutnya setelah diskusi dan pemaparan di hotel, kami kemudian diajak berkunjung ke salah satu desa binaan CSR Sinarmar, yaitu Desa Makmur Peduli Api yang tadi stand-nya sempat ku kunjungi di awal tulisan. Desa Batu Gajah adalah sebuah desa di kawasan Tapung, Kampar, yang berada dekat dengan area konsesi PT Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI).

Konon asal kata Desa Batu Gajah berasal dari sekelompok gajah liar yang bermukim di area tersebut yang tanpa sengaja memakan buah hutan yang bergetah, getah yang terdapat di buah tersebut kemudian meracuni gajah-gajah itu hingga akhirnya, saat menyeberangi sungai di dekat kawasan tersebut, gajah-gajah itu mati dan membatu. Kabarnya batu-batu yang menyerupai gajah itu masih dapat kita jumpai didekat sungai di kawasan Desa Batu Gajah.

Dua bus yang membawa rombongan kami pun sampai di desa Batu Gajah, tepat disaat perut keroncongan setelah kurang lebih dua jam perjalanan dengan suguhan pemandangan kebun-kebun sawit dan akasia. Ternyata, kawasan desa berada di tengah perkebunan yang aksesnya cukup jauh dari jalan besar. Kami melalui rumah-rumah warga, hutan sawit, hutan akasia, hutan akasia lagi, jalan aspal, jalan aspalnya habis, ketemu jalan tanah, masih hutan akasia terus terus terus sampai akhirnya bertemu dengan warga desa Batu Gajah yang sudah menunggu kami dengan berbagai suguhan dari hasil kebun mereka.

Desa Makmur Peduli Api diperkenalkan oleh APP Sinarmas pada penghujung tahun 2015, yang merupakan upaya perbaikan dari program pemberdayaan masyarakat sebelumnya. Melalui DMPA, Sinarmas berharap desa dan masyarakat dapat berperan penting dalam pengelolaan hutan lestari dengan diiringi pencapaian kemakmuran secara bersama dan berkelanjutan.

Dari kunjungan kami ke Desa Batu Gajah kemarin, kami dapat melihat secara langsung seperti apa implementasi atas kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan seperti masyarakat, perusahaan, pemda, lembaga swadaya masyarakat dan juga akademisi. Karena pada dasarnya, program ini diharapkan mampu mengurai masalah dan menghadirkan solusi bagi dinamika sosial kemasyarakatan yang dihadapi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.

Setelah kami menyelesaikan makan siang, kami berkesempatan mendengar penjelasan dari perwakilan Desa Batu Gajah mengenai program-program dan kegiatan yang mereka laksanakan di desa tersebut. Dari penjelasan, kami mengetahui bahwa desa Batu Gajah bekerjasama dengan PT. PSPI pada tahun 2014 untuk membuat beberapa program yaitu; Program ternak sapi, hortilkutura, dan program bantuan untuk para nelayan.

Menyaksikan demo kegiatan usaha masyarakat di Desa Batu Gajah

Ada dua buah meja yang kulihat disiapkan di sisi kiri dan kanan rumah warga yang menjamu kami untuk makan siang tadi. Seorang ibu dengan jilbab hitam duduk di sebuah meja tak jauh dari sebuah pohon yang tumbuh disisi kanan rumah itu. Di atas meja di hadapannya terletak beberapa tudung-tudung menyerupai caping, beberapa telah selesai dan dicat dengan warna merah, beberapanya lagi tengah dalam proses pembuatan.

Ibu itu memperkenalkan diri sebagai salah satu warga desa Batu Gajah yang sehari-hari membuat tudung-tudung dari batang bambu yang telah dipipihkan seperti lembaran-lembaran kertas karton yang kaku. Beliau menyebutkan bahwa tudung-tudung itu biasa dibuat menjadi tudung saji. Biasanya pembeli datang dari wilayah Kampar lainnya yang menggunakannya untuk menutup hidangan di atas jamba atau nampan makanan berbentuk lingkaran.

Warga Desa Batu Gajah

“Tinta hitam yang kita pakai untuk melukis diatas bambu ini bukan dari cat, melainkan kita buat sendiri dari mengumpulkan jelaga dari lampu togok yang kemudian dicampur dengan getah kulit jeruk nipis” Ujarnya sembari tangannya lihai melukis garis-garis awal diatas lembaran-lembaran bambu yang telah dibentuk seperti caping. “Biasanya penjualan meningkat saat lebaran idul fitri tiba, namun saat ini untuk kebutuhan bahan baku seperti batang-batang bambu agak sulit didapat dihutan” Sambungnya lagi.

Dua orang ibu-ibu tampak juga sudah siap-siap di tempat lainnya, di atas meja terlihat ada sebuah kompor dan serta perlengkapan masak. Mereka memperkenalkan diri dari usaha rumahan binaan DMPA lainnya, yaitu desa Suka Makmur yang terletak tak jauh dari desa Batu Gajah.

Setelah minyak diatas kompor panas, salah seorang ibu kemudian menggoreng tempe yang sebelumnya sudah dibumbui dan dipotong tipis-tipis, sementara ibu satunya memberikan penjelasan tentang usaha mereka. Kami berkerumun disekitarnya untuk mengambil gambar dan tak sabar untuk mencicipi keripik tempe yang baru saja diangkat dari kuali. Ibu-ibu itu rupanya memiliki usaha penjualan keripik tempe dan pisang yang ternyata sudah dipasarkan secara online keluar desa mereka.

Baru saja gorengan keripik tempe diangkat, tangan-tangan yang penasaran segera berebut mengambil keripik itu. Tak disangka, keripik yang dibumbui sederhana itu sangat nikmat dan renyah. Maka aku dan beberapa teman membeli beberapa bungkus dagangan keripik tempe dan pisang yang mereka jajakan untuk kemudian kami bawa pulang ke Pekanbaru.

Peragaan membuat keripik tempe

Setelah puas mencicipi gorengan dan beramah tamah dengan warga setempat, kamipun melanjutkan perjalanan untuk melihat lokasi program dari DMPA lainnya di desa Batu Gajah. Ku kira, kami dapat berkunjung ke seluruh kegiatan masyarakat disana, seperti peternakan, perkebunan hortilkultura, serta bantuan yang diberikan untuk para nelayan. Namun sayang, sepertinya waktu yang kami miliki tak cukup untuk mengunjungi semuanya. Jadi kami hanya sempat mengunjungi program peternakan yang ada disana.

Bus rombongan kami pun sampai di lokasi peternakan yang dimaksud. Tak lama setelah turun dan menyusuri jalan setapak yang tak seberapa jauh, aroma khas kotoran sapi pun menyeruak dari sela-sela langkah kaki peserta Forest Talk waktu itu. Mungkin, karena kami datang berombongan, sapi-sapi itu terlihat panik. Saking paniknya, salah satu sapi bahkan hampir menyeruduk satu dari ibu yang biasanya memberi mereka makan.

Melihat itu, sebagian besar rombongan pun memilih berdiri di luar pembatas kandang. Kalau aku jelas karena takut diseruduk sapi, nggak tahu dengan yang lain, mungkin kasihan lihat sapi-sapinya stress disamperin peserta Forest Talk ramai-ramai.

Program ternak sapi dimulai pada tahun 2016, para warga awalnya diberi bantuan 6 ekor sapi yang dipelihara secara bergantian. Saat ini di tahun 2019 sapi-sapi tersebut telah beranak pinak hingga jumlahnya sekarang ada 18 ekor. Untuk pakan ternak sendiri ternyata diambil oleh masyarakat dari rumput-rumput yang tumbuh disekitar hutan.

Kunjungan kami di Desa Batu Gajah pun berakhir ketika sore menjelang. Celotehan didalam bus saat perjalanan pulang ke Pekanbaru jauh berkurang ketimbang saat berangkat tadi. Mungkin karena kelelahan, sebagian teman-teman terlihat tertidur dibangku masing-masing, sebagian lainnya terlihat membuat draft untuk tayangan di Instagram mereka.

Rombongan Forest Talk with Bloggers Pekanbaru

Kesadaran untuk melestarikan lingkungan berawal dari diri sendiri

Sepulangnya dari Desa Batu Gajah, aku kemudian memikirkan materi-materi yang sudah disampaikan oleh ibu Amanda Katili Niode dan Dr Atiek Widayati. Terutama tentang masalah lingkungan yang merupakan dampak dari perbuatan manusia itu sendiri. Bila kita tidak bisa ikut serta dengan organisasi-organisasi sosial kemanusiaan yang memperjuangkan langsung kelestarian hutan dengan terjun ke lapangan, masih ada cara-cara yang bisa kita lakukan dengan sedikit mengubah gaya hidup kita sehari-hari loh.

Berikut rangkuman beberapa kasus dan solusi yang bisa kita terapkan sehari-hari untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika masing-masing orang mempraktikannya, tentunya dapat berkontribusi untuk memperlambat lajunya perubahan iklim itu sendiri.

Industri Fashion: Salah satu pencemar terbesar

Siapa sangka, industri fashion saat ini menjadi salah satu penyumbang pencemaran terbesar di bumi. Mengikuti kasus-kasus di dunia fast-fashion cukup membuat pusing. Di awal tahun bahkan ada kasus mengenai upah yang belum dibayarkan oleh salah satu jenama pakaian tersohor asal Jepang. Tak heran, pada akhirnya industri ini menyimpan banyak masalah di sebaliknya, salah satunya adalah masalah lingkungan.

Sumber Tirto.id

Oleh karenanya, akhir-akhir ini tren slow fashion mencuat dikalangan pecinta fashion yang juga menaruh perhatian khusus untuk kelestarian lingkungan. Aku bahkan menemukan beberapa aktivis minim sampah yang rutin mengkampanyekan program saling menukar pakaian mereka yang masih bagus tetapi sudah tidak muat atau sudah bosan dikenakan dengan pakaian rekan mereka lainnya secara regular.

Beberapa cara lainnya yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir sampah-sampah pakaian yang menumpuk adalah:

  1. Memilih model dan bahan pakaian yang bertahan lama, biasanya pakaian berbahan katun atau linen memiliki masa pakai yang cukup lama.
  2. Beralih ke pakaian-pakaian yang menggunakan pewarna alami atau serat-serat alami.
  3. Daripada membeli pakaian baru, tidak ada salahnya membeli pakaian preloved yang berbahan bagus di flea market yang ada disekitar kita atau dari teman-teman kita yang sering berjualan pakaian preloved.

Mengurangi penggunaan kantong plastik sekali pakai

Bahaya akan kantong plastik sekali pakai saat ini juga sudah menjadi concern pemerintah kita. Apalagi Indonesia termasuk salah satu negara penyumbang limbah plastik terbesar di lautan. Aku pribadi juga perlahan sudah mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Berikut cara yang bisa kita lakukan untuk mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai:

  1. Menggunakan totebag sendiri untuk berbelanja. Membawa wadah sendiri saat berbelanja daging, atau ikan ke pasar.
  2. Biasakan membawa botol minum dan tempat makanan sendiri. Bahkan sediakan tempat makan kosong didalam tas untuk mengantisipasi tempat makan sekali pakai jika kita senang jajan jajanan dipedagang makanan.
  3. Kalau hobi jajan seperti batagor, siomay atau bakso, usahakan makan ditempat untuk mengurangi membungkus makanan jika lupa membawa wadah sendiri.
  4. Gunakan sedotan ramah lingkungan, atau tidak sama sekali. Kokop aja shay.

Beralih ke gaya hidup sehat

Gaya hidup sehat disini berarti dengan memperhatikan apa yang kita konsumsi sehari-hari. Tahu gak sih kalau dari penelitian yang dilakukan oleh Oxford pada tahun 2015, Peralihan global ke pola makan yang mengurangi daging dan menambah buah-buahan dan sayur-sayuran dapat menyelamatkan 8 juta hidup manusia pada 2050, menghemat biaya kesehatan & kerusakan iklim US$1,5 triliun.

Karena industri peternakan saat ini pun sudah tidak sehat lagi, untuk memproduksi daging yang kita konsumsi sehari-hari membutuhkan energi yang cukup besar loh teman-teman.

Praktik Rumah Minim Sampah

Sub-judul ini mengingatkan ku atas seorang influencer yang mengkampanyekan Rumah Minim Sampah dan sudah diikuti banyak ibu-ibu lainnya.

Sederhananya, rumah minim sampah butuh perencanaan. Dimulai dari pengelolaan sampah harian. Menyortir sampah tidak hanya sebatas sampah kering dan sampah basah. Tetapi juga memilah sampah antara sampah plastik dan kertas, sampah yang bisa di jadikan kompos dan mana yang bisa ditaruh di bank sampah, hingga mana sampah yang harus dijadikan ecobrick.

Praktik rumah minim sampah ini tentunya didasarkan atas kesadaran bahaya sampah plastik bagi lingkungan kita. Sehingga kita jadi lebih sadar dalam membeli dan mengkonsumsi kebutuhan harian kita.

Pada akhirnya siapapun kita, seharusnya bisa mengambil peran untuk memperlambat lajunya perubahan iklim. Ya, pemerintah tentunya memiliki peran yang cukup besar dalam hal ini, salah satunya dengan membuat regulasi mitigasi bencana, serta mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan seperti yang telah dilakukan masyarakat di Sumba pada tahun 2005. Selain tentunya mengoptimalkan reforestasi hutan dan lahan yang ada di Indonesia. Seperti mengembalikan fungsi hutan serta mendukung penuh praktek-praktek berkelanjutan.

Baca artikel ku untuk GNFI : Mutiara Ekowisata Desa Koto Lamo

Peran Bloggers & Influencers

Conversation Prism 5.0

Dari yang disampaikan oleh ibu Amanda dan ibu Atiek, ada lebih dari 500 platform sosial media yang ada di dunia. Dan ada begitu banyak pengguna media sosial saat ini. Salah satu cara yang bisa kita lakukan tanpa harus beranjak dari tempat duduk adalah dengan ikut menyebarkan informasi-informasi seputar perubahan iklim.

Kita juga bisa ikut mendukung pelestarian hutan serta praktek-praktek berkelanjutan dengan membantu menginformasikan hasil hutan selain kayu, yang ternyata memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi yang secara tidak langsung menjadi dukungan ekonomi masyarakat tepi hutan.

Memanfaatkan blog dan media yang kita miliki untuk mengabarkan akan potensi alam yang kita miliki serta kita wajib untuk melestarikannya seperti tulisanku tentang seorang pemuda penggiat ecowisata di nyarai Sumatera Barat ini pun dapat dilakukan.

Para pembalak liar yang telah beralih menjadi pengelola kawasan ekowisata Nyarai berkat Ritno Kurniawan

Acara Forest Talk With Bloggers Pekanbaru ini ternyata menyadarkanku kembali atas perubahan iklim yang nyata. Sebelum benar-benar terlambat, ayo kita ikut bergerak menyelamatkan lingkungan dan hutan kita. Karena Lestari Hutan, Lestari Peradaban!

Terimakasih Yayasan Doktor Sjahrir sudah mengajak saya dan teman-teman dari Blogger Pekanbaru mengikuti kegiatan ini hingga dapat banyak banget ilmu dari acara ketje ini. Happy Anniversary Climater Reality Project Indonesia! Semoga dapat terus mengedukasi ke seluruh pelosok negeri. Sampai jumpa lagi!

Blogger Pekanbaru bersama pemateri dan panitian YDS

Sumber-sumber:

  • https://pesona.travel/keajaiban/159/asal-usul-pacu-jalur-kuantan-singingi
  • https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150929134431-199-81585/ilmuwan-kebakaran-hutan-dekati-situasi-terburuk-1997
  • https://blog.act.id/membandingkan-kebakaran-hutan-tahun-2015-dengan-kebakaran-hutan-tahun-1997/
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Sjahrir_(ekonom)
  • http://yayasandoktorsjahrir.id/tentang-yds/
  • http://www.climatereality.or.id/about-us.html
  • https://tirto.id/apakah-gaya-berbusana-anda-membahayakan-lingkungan-cjJh

15 Comments

  1. dapat ilmu, dapat pengalaman, dapat teman – teman baru. acara yang jarang jarang sekali diadakan dan mengundang blogger. Sukses terus kak, lestari hutan

  2. Senang banget bisa dapat kesempatan ikutan acara Forest talk, dan beruntung selain dapat materi juga dapat praktek ke lapangan. Lihat nyata ada desa yang peduli api dan mereka luar biasa ternyata 🙂

Leave a Reply to nataCancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *