Cagar Budaya Indonesia status berpayung hukum yang masih menghadapi ancaman perusakan.

Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan melalui proses penetapan.

UU No. 11 tahun 2010

Sebuah perjalanan membawaku ke Rokan IV Koto pada 2014 lalu, ikut dalam survei senior di komunitas yang juga berprofesi sebagai arsitek dan sudah terlibat dalam kegiatan pelestarian warisan budaya bertahun-tahun sebelumnya. Tujuan kami adalah Istana Rokan IV Koto yang terletak di Rokan Hulu, namun terlebih dahulu kami harus bertemu dengan Om Jon Kobet, begitu aku menyebutnya, salah seorang peneliti dan juga budayawan lokal dimana kami akan menginap di rumahnya beberapa hari ke depan.

Mereka terlihat sedang membicarakan beberapa hal, terkait istana yang hendak kami datangi sore itu. Hal yang perlahan-lahan mulai kupahami sejak mulai rutin berkegiatan di komunitas tersebut, bahwasanya masih ada orang-orang yang secara sengaja ataupun tidak telah merusak nilai sejarah atau value dari sebuah bangunan bersejarah.

Sampailah kami kemudian ke istana yang dimaksud. Sebuah bangunan berbentuk rumah panggung yang cukup besar dengan papan pemberitahuan bertuliskan Bangunan Cagar Budaya di depannya. Seketika air muka seniorku yang arsitek itu berubah dan diapun mendekati bagian bawah bangunan. Darinya aku kemudian mengetahui bahwa beberapa hasil renovasi dari bangunan yang berdiri dihadapan kami saat itu berpotensi merusak atau bahkan telah mengurangi nilai sejarah dari bangunan tersebut. Aku hanya diam, dalam pandanganku Istana itu terlihat baik-baik saja, halamannya bersih, bagian bawah bangunan juga telah disemen dan diberi lantai keramik sehingga terlihat lebih cantik, apanya yang rusak fikirku.

Rusaknya bangunan bersejarah seringnya tanpa kesengajaan dan minimnya pengetahuan.

Ternyata kata perusakan nilai atas bangunan bersejarah tidak hanya terletak pada bentuk bangunan yang tidak terawat, atau bagian-bagian bangunan yang hancur. Tetapi juga bisa terjadi apabila terjadi renovasi atau perbaikan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pelestarian. Percayalah, hal ini yang seringnya mengurangi nilai sejarah suatu benda/bangunan/situs Cagar Budaya bahkan membuat banyak penggiat pelestarian pusaka patah hati hingga berdarah-darah.

Kasus yang bikin penggiat pelestarian pusaka patah hati ini pernah terjadi pada Mesjid Raya Pekanbaru. Mesjid yang dibangun pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah ini mengalami perombakan sehingga menghilangkan 80% bentuk asli dari bangunan lamanya. Menyisakan dinding, gerbang, soko guru dan mimbar, sehingga menurunkan statusnya dari Bangunan Cagar Budaya menjadi Struktur Cagar Budaya. Hal yang syukurnya tidak terjadi pada Istana Rokan IV Koto.

Berbeda dengan Mesjid Raya Pekanbaru, Istana Rokan IV Koto juga mengalami renovasi yang untungnya tidak merubah struktur bangunan. Hanya saja, setelah kunjungan ke Istana tersebut aku diberitahu bahwa beberapa renovasi yang terkesan tidak cermat berpotensi mengurangi nilai sejarah bangunan tersebut. Menurut Om Jon Kobet dan arsitek temanku itu, Bangunan khas masyarakat melayu yang tinggal di tepi sungai memang rata-rata terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung. Ini karena kayu adalah material yang paling mudah didapat dimasa itu, dan rumah panggung biasanya untuk menghindar dari banjir ataupun hewan liar. Dan karena terbuat dari kayu itu, ada beberapa tehnik dalam mendirikan rumah itu yang membuat beberapa tiang rumah dibuat tidak langsung menyentuh tanah, hal ini bertujuan untuk mengurangi kelembaban terhadap struktur kayu tersebut dan berfungsi mencegah cepatnya pelapukan. Dan dengan disemen serta dikeramiknya bagian bawah Istana Rokan IV koto itu menjadikan tiang bangunan itu langsung menempel dengan lantai dimana media semen itu membuat kelembaban mudah mencapai struktur tiang sehingga mempercepat proses pelapukan. Belum lagi dengan penggantian lapisan kayu serta ornamen yang dirasa oleh Om Jon kurang cermat sehingga mengurangi nilai sejarah yang dimiliki bangunan tersebut.

Hal yang serupa juga tampaknya dapat menimpa Candi Muara Takus, satu-satunya situs peninggalan umat Budha yang ada di Riau. Candi yang sudah diakui oleh Unesco sebagai salah satu warisan budaya dunia ini dikhawatirkan mengalami kasus perusakan tanpa sengaja dengan adanya penggalian-penggalian beberapa sumur dikawasan candi tersebut.

Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau

Warisan Budaya dan status Cagar Budaya

Untuk menyandang status Cagar Budaya sebuah benda/bangunan/situs/kawasan harus terlebih dahulu direkomendasikan dan didaftarkan serta telah berusia minimal 50 tahun. Pun ada serangkaian proses yang harus dilakukan sebelum status itu akhirnya disahkan oleh pemerintah daerah ataupun pusat.

Bersamanya ada keterlibatan Tim Ahli Cagar Budaya yang bertugas melalukan proses peninjauan dan survey atas kelayakan benda bersejarah yang didaftarkan. Oleh karenanya, tidak semua benda-benda bersejarah memiliki status Cagar Budaya. Tim ahli ini bisa dibentuk dimasing-masing daerah untuk mempermudah proses rekomendasi serta pendaftaran benda-benda diduga cagar budaya.

Dengan adanya tim ahli ini bukan berarti memutus pentingnya peran masyarakat dalam ikut serta melestarikan baik warisan budaya ataupun cagar budaya yang ada dimasing-masing daerah di seluruh Indonesia. Bahkan masyarakat memiliki peran yang crucial dalam pelestarian Cagar Budaya yang ada di Indonesia.

Masyarakat memiliki peran penting dalam pelestarian warisan dan cagar budaya Indonesia

Ada satu rumah adat di daerah Air Tiris, Kampar, bernama Rumah Adat Suku Bendang serta telah memiliki status sebagai Bangunan Cagar Budaya. Dengan status tersebut tentunya rumah adat tersebut mendapat perlindungan baik secara materil maupun hukum oleh pemerintah, namun ternyata masih ada beberapa rumah lama lainnya yang berada disekitar rumah adat Suku Bendang tersebut.

Sewaktu aku bertemu dengan pewaris rumah tersebut bernama pak Nazar, beliau menyebutkan ada banyak rumah-rumah lama yang masih ada di kampung itu. Beberapa ada yang masih digunakan, beberapa lagi ada yang sudah ditinggalkan dan mengalami pelapukan.

Pantang bagi kami menjual rumah-rumah warisan ini, jadi jika sudah tidak dihuni lagi, biasanya akan dibiarkan saja hingga lapuk, karena untuk direnovasi sudah sulit mencari bahan bakunya dan kesulitan biaya

Pak Nazar

Begitulah kira-kira nasib banyak rumah-rumah tua yang tidak memiliki status sebagai Cagar Budaya. Jadi apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam upaya menyelamatkan warisan budaya tersebut? Meningkatkan kepedulian dan rasa memiliki adalah hal mendasar yang wajib dimiliki untuk terlibat dalam pelestarian warisan budaya maupun cagar budaya.

Masyarakat dan ujung tombak pelestarian, rawat atau musnah!

Keterlibatan masyarakat sangat penting dalam pelestarian Cagar Budaya dan warisan budaya. Ini tentunya karena bangunan/benda/situs/kawasan Cagar Budaya telah ada ditengah-tengah masyarakat berpuluh-puluh tahun lamanya. Bahkan sebagian besarnya adalah warisan yang mereka miliki selama turun temurun.

Seperti yang terjadi dengan Candi Muara Takus saat ini, masyarakat sedang berperan sebagai pelestari dan pelindung situs candi atas kemungkinan adanya kerusakan akibat penggalian sumur dikawasan tersebut. Seandainya masyarakat tidak memiliki kepedulian dan rasa memiliki atas keberadaan cagar budaya tersebut, jangankan sumur, jika sebagian batu pada bangunan candi dijualpun mungkin tak akan ada yang sadar.

Sebagai pewaris kekayaan Indonesia yang berlimpah ini, ada banyak cara yang dapat kita lakukan untuk terlibat dalam pelestarian. Selain terlibat dalam organisasi atau komunitas-komunitas heritage, kita bisa mulai dengan mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku saat berkunjung di kawasan cagar budaya, dan tidak dengan mudah merusak kawasan dengan alasan ketidak tahuan.

Selain itu, pemerintah dapat merangkul komunitas dan lembaga-lembaga non pemerintah yang terlibat dalam pelestarian pusaka ini untuk dapat mensinergikan semangat pelestarian yang sama. Karena bagi para penggiat pelestarian cagar budaya pilihannya hanya antara merawat warisan yang ada, atau membiarkannya musnah dan hanya menyisakan cerita.

Salah satu cara yang bisa aku lakukan adalah dengan mengikuti kompetisi “Blog Cagar Budaya; Rawat atau Musnah!” untuk menyampaikan cerita dan pemikiranku tentang Cagar Budaya Indonesia dan bahkan ancaman kerusakan sehingga mengurangi nilai sejarah yang dimilikinya.

Yuk Ikuti Kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia

11 Comments

  1. Aku baru tau klo renovasi bangunan bersejarah bahkan termasuk ancaman kerusakan yang bakal ngurangin nilai sejarah cagar budaya tsb. As WNI aku merasa terpanggil untuk lebih care soal cagar budaya Indonesia. Demi kelestarian warian budaya! Semoga pemerintah juga lebih aware dengan rajin sosialiasi yaa. Karena kita masyarakat awam gak semua tahu akan cagar budaya. Apa yg sebaiknya dilakukan dan apa yg tidak boleh dilakukan.

    Thank you for sharing, Thri! Sangat bermanfaat!

    • Renovasi atau pemugaran Bangunan bersejarah, ataupun Cagar Budaya sesungguhnya perlu dilakukan untuk tetap melestarikannya mut. Tapi harus ada kaidah-kaidah pelestarian yang harus dipatuhi. Aku yakin sih pemerintah kita paham akan hal ini, hanya kadang muncul eror saat pelaksanaannya.Diharapkan sih pemerintah bisa lebih tegas dan bekerja sama dengan banyak ahli yg kredible utk menjaga Cagarr Budaya kita yaaa muuut.. mangaaaattss

  2. Iya sayang bgt yg masjid raya pekanbaru kak. Memang skrg megah tapi udah ilang nilai historisnya. Niatnya baik tapi ternyata menghilangkan hal terpenting dari sbuah bangunan

Leave a Reply to athriCancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *